Kamis, 17 Juli 2008

Konsultasi Hukum: Tata cara Peradilan Anak

Pertanyaan :

Bagaimanakah tata cara peradilan anak, proses hukumnya dan hal apa saja yang akan mengakibatkan seorang anak dapat di adili?

Jawaban :

Pertama, harus dibedakan antara peradilan anak dengan pengadilan anak. Peradilan anak adalah sebuah sistem peradilan untuk anak yang terintegrasi mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bantuan hukum dan pelayanan lainnya, hingga pemasyarakatan. Tetapi pengadilan anak adalah proses yang lebih terfokus pada jalannya sidang anak atau pada tahap pengadilan. Indonesia hanya memiliki aturan mengenai pengadilan anak, yaitu di dalam Undang-undang no 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Meskipun di dalamnya juga mengatur mengenai proses pra-pengadilan khusus untuk anak, tetapi hanya menyentuh persoalan acaranya saja, seperti batas masa tahanan, tata cara sidang anak, jenis-jenis hukuman dll.

Hukum kita belum membatasi jenis tindak pidana apa saja yang dapat didakwaan pada anak. Inilah salah satu kelemahan hukum kita yang belum melindungi anak. Pada dasarnya saat ini, anak dapat dipidana untuk semua jenis pelanggaran hukum yang diatur oleh KUHP. Yang dibedakan hanya masa tahanan dan masa hukuman yang dapat dikenakan. Bahkan usia minimum pertanggungjawaban kriminal di negara kita adalah 8 tahun. Berarti, anak kelas 2 SD bisa dikenai sanksi pidana.

Idealnya untuk anak, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi upaya yang paling akhir dan kalaupun terpaksa dilakukan harus untuk masa yang paling singkat. Hal ini sudah diatur di dalam Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 16 butir c. Berdasarkan hal itu pula, saat ini tengah dilakukan upaya revisi UU Pengadilan Anak menjadi undang-undang yang lebih komprehensif mengatur mengenai pra-ajudikasi, ajudikasi dan pasca ajudikasi untuk anak. Proses peradilan tidak pernah berdampak baik pada anak karena akan menimbulkan trauma, stigmatisasi dan resiko mengalami kekerasan dan eksploitasi. Oleh karena itu, bagi anak, diversi atau pengalihan dari sistem peradilan formal kepada mekanisme penanganan berbasis keluarga dan masyarakat adalah langkah yang terbaik.

Konsultasi Pendidikan: Mendidik Anak Tanpa Kekerasan

Seringkali orangtua menanyakan ke saya “Anak saya ini kalau diomongin susah nurutnya, bagaimana sih caranya agar anak nurut dengan orangtua? Apa musti dipukul dulu baru nurut?”. Mendengar pertanyaan ini, seringkali saya jawab dengan singkat “Kenapa musti harus dengan kekerasan?”. Dan seringkali saya menceritakan kisah di bawah ini agar mereka mengerti apa maksudnya Mendidik Anak Tanpa Kekerasan.

Pada suatu hari Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi, memberi ceramah di Universitas Puerto Rico. Ia menceritakan suatu kisah dalam hidupnya:

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Pada suatu saat, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya mengerjakan beberapa pekerjaan tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu setiba di tempat konferensi, ayah berkata ”Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.”

Segera saja saya menyelesaikan pekerja-pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibu. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjuk pukul 17.30, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18.00!!!

Dengan gelisah ayah menanyai saya ”Kenapa kau terlambat?”. Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton bioskop sehingga saya menjawab, ”Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”

Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, ”Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarkanlah ayah pulang berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”

Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai kejadian ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya, sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan ? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru terasa kemarin. Itulah kekuatan bertindak tanpa kekerasan.

Ketika kita berhasil menancapkan suatu pesan yang sangat kuat di bawah sadar seorang anak maka informasi itu akan langsung mempengaruhi perilakunya. Itulah salah satu bentuk hypnosis yang sangat kuat. Apakah hal sebaliknya bisa terjadi? Ya bisa saja! Oleh karena itu kita perlu keyakinan penuh dalam melakukannya sehingga hasil positif yang kita inginkan pasti tercapai. Hal ini memerlukan pemikiran yang mendalam dan kesadaran diri yang kuat dan terlatih. Janganlah bertindak karena reaksi spontan belaka dan kemudian menyesal setelah melakukannya.

Jika kita mau berpikir sedikit ke belakang ke masa di mana anak-anak kita masih kecil sekali maka di masa itulah semua ”bibit” perilaku dan sikap ditanamkan. ”Bibit” perilaku dan sikap inilah yang kelak akan mewarnai kehidupan remaja dan dewasanya. Siapakah yang menanamkan ”bibit” perilaku dan sikap itu untuk pertama kalinya? Ya anda pasti sudah tahu jawabnya, kitalah orangtua yang menanamkan segala macam ”bibit” perilaku dan sikap itu.

Bagaimana jika sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan pengasuhnya (baby sitter)? Ya berdoalah semoga pengasuh anak anda mempunyai pemikiran bijaksana dan bisa mempengaruhi anak anda secara positif. Berharaplah pengasuh anak (baby sitter) anda mengerti cara kerja pikiran dan mengerti bagaimana bersikap, berucap dan bertindak dengan baik agar anak anda memperoleh ”bibit” sikap dan perilaku yang baik.

Seseorang bisa menjadi baik atau buruk pasti karena sesuatu ”sebab”. Perilaku, ucapan sikap, dan pikiran yang baik atau buruk hanyalah suatu rentetan ”akibat” dari suatu ”sebab” yang telah ditanamkan terlebih dahulu. Mungkinkah terjadi ”akibat” tanpa ”sebab”? Mungkinkah anak kita berbohong tanpa sebab, mungkinkah anak kita ”nakal” tanpa sebab, mungkinkah anak kita rewel tanpa sebab? Sebagai orangtua kita wajib mencari tahu apa penyebabnya. Tidaklah pantas sebagai orangtua kita langsung bereaksi spontan begitu saja tanpa memikirkan apa yang baru saja kita perbuat. Bukankah ini akan memberi contoh baru bagi anak kita tentang bagaimana bertindak dan bersikap?

Sewaktu kita mempunyai anak maka kita menjadi orangtua, tetapi kita tidak pernah punya pengalaman menjadi orangtua. Kita mempunyai pengalaman menjadi anak. Jadi kita harus mendidik diri kita sendiri dengan belajar dari anak-anak. Bukan belajar dari apa yang dilakukan orangtua pada kita. Ingatlah perasaan sewaktu kita masih menjadi anak-anak. Amati mereka dan tanggapilah dengan penuh perhatian apa yang mereka inginkan. Pengharapan, perlakuan dan pengakuan seperti apa yang kita inginkan dari orangtua yang tidak pernah terpenuhi?

Perlakukan anak-anak seperti kita ingin diperlakukan! Jangan perlakukan anak-anak seperti apa yang dilakukan orangtua pada kita.

Wish you become the best parents in the world !